
MODERASI BERAGAMA
MODERASI BERAGAMA
Oleh : Siti Lukluk Mufidah, S.Ag
Pendahuluan
Indonesia sebagai sebuah negara yang memuat banyak sekali
keberagaman yang terdiri dari keberagaman suku, bangsa, bahasa, adat istiadat
dan agama, dewasa ini seringkali diterpa isu tentang radikalisme.
Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kelompok tertentu ini semakin hari semakin
tumbuh dan secara terang-terangan menyuarakan ideologi mereka. Aksi teror,
penculikan, penyerangan, bahkan pengeboman pun kian marak terjadi.
Dari berbagai macam keberagaman yang dimiliki negara Indonesia,
keberagaman agama menjadi yang terkuat dalam membentuk radikalisme di
Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok ekstrem yang kian hari semakin
mengembang sayapnya difaktori berbagai hal seperti sensitifitas kehidupan
beragama, masuknya aliran kelompok ekstrem dari luar negeri, bahkan
permasalahan politik dan pemerintahan pun turut mewarnai. Maka ditengah
hiruk-pikuk permasalahan radikalisme ini, muncul sebuah istilah yang disebut
“Moderasi beragama”.
Pengertian
Moderasi Beragama
A.
Moderasi
Secara
Bahasa, Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin Moderatio, yang berarti
kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti
penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1)
pengurangan kekerasan, dan 2) penghindaran keekstreman. Jika
dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu
bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.
Dalam Bahasa
Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (ratarata),
core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum,
moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan
watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika
berhadapan dengan institusi negara.
Sedangkan
dalam Bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang
memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil),
dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut
wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan
terbaik”. Apa pun kata yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama,
yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di
antara berbagai pilihan ekstrem.
Kata
wasith bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata 'wasit' yang
memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) penengah, perantara (misalnya
dalam perdagangan, bisnis); 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara
yang berselisih; dan 3) pemimpin di pertandingan.
Menurut para pakar bahasa Arab, kata
wasath itu juga memiliki arti “segala yang baik sesuai dengan objeknya”.
Misalnya, kata “dermawan”, yang berarti sikap di antara kikir dan boros, atau
kata “pemberani”, yang berarti sikap di antara penakut (al-jubn) dan nekad
(tahawur), dan masih banyak lagi contoh lainnya dalam bahasa Arab.
Secara
Istilah, Yang pertama moderasi adalah sikap dan pandangan yang tidak
berlebihan, tidak ekstrem dan tidak radikal (tatharruf). QS. Al-Baqarah: 143
yang dirujuk untuk pengertian moderasi di sini menjelaskan keunggulan umat
Islam dibandingkan umat lain. Dalam hal apa saja? Al-Qur'an mengajarkan
keseimbangan antara hajat manusia akan sisi spritualitas atau tuntutan batin
akan kemahadiran Tuhan, juga menyeimbangkan tuntutan manusia akan kebutuhan
materi. Disebutkan dalam hadits, ada sekelompok orang mendatangi Nabi Muhammad
untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang kuat beribadah, sampai tidak
menikah. Nabi menjawab, yang benar adalah keseimbangan antara ibadah dan
pemenuhan materi. Itulah sunnah beliau. Dalam hal moral, al-Qur'an mengajarkan
juga keseimbangan, sikap tidak berlebihan juga ditekankan. Seseorang tidak
perlu terlalu dermawan dengan menyedekahkan hartanya sehingga dia sendiri
menjadi bangkrut. Tapi, ia juga jangan kikir, sehingga ia hanya menjadi kaya
sendiri, harta yang terkonsentrasi di kalangan orang-orang berpunya. Demikian,
pesan ini disarikan dari ayat al-Qur'an sendiri.
Kedua,
moderasi adalah sinergi antara keadilan dan kebaikan. Inti pesan ini ditarik
dari penjelasan para penafsir al-Qur'an terhadap ungkapan ummatan wasathan.
Menurut mereka, maksud ungkapan ini adalah bahwa umat Islam adalah orang-orang
yang mampu berlaku adil dan orang-orang baik.
B.
Beragama
Secara
Bahasa, Beragama berarti menganut (memeluk) agama. Contoh: Saya beragama Islam
dan dia beragama Kristen. Beragama berarti beribadat; taat kepada agama; baik
hidupnya (menurut agama). Contoh: Ia datang dari keluarga yang beragama. Beragama
berarti sangat memuja-muja; gemar sekali pada; mementingkan (Kata percakapan).
Contoh: Mereka beragama pada harta benda.
Secara
Istilah, Beragama itu menebar damai, menebar kasih sayang, kapanpun dimanapun
dan kepada siapapun. Beragama itu bukan untuk menyeragamkan keberagaman, tetapi
untuk menyikapi keberagaman dengan penuh kearifan. Agama hadir ditengah-tengah
kita agar harkat, derajat dan martabat kemanusiaan kita senantiasa terjamin dan
terlindungi.
Oleh
karenanya jangan gunakan agama sebagai alat untuk menegasi dan saling
merendahkan dan meniadakan satu dengan yang lain. Oleh karenanya, mari
senatiasa menebarkan kedamaian dengan siapapun, dimanapun dan kapanpun.
Beragama itu menjaga, menjaga hati, menjaga perilaku diri, menjaga seisi negeri
dan menjaga jagat raya ini.
Jadi
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni
memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan
maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech),
hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia saat ini.
Tolok
Ukur Moderasi Beragama
Kemajemukan
di Indonesia tidak bisa hanya disikapi dengan prinsip keadilan, melainkan juga
dengan prinsip kebaikan. Keadilan adalah keseimbangan dan ketidakberpihakan
dalam menata kehidupan dengan asas hukum dan kepastian di dalamnya. Akan
tetapi, keadilan atas adanya hukum formalitas hitam-putih secara rigid juga
tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kebaikan, yaitu unsur yang juga
melandasi prinsip keadilan.
Hukum bisa
saja hanya menyentuh aspek permukaan dan tidak memenuhi rasa keadilan
sesungguhnya, sehingga perlu ada sentuhan kebaikan. Keadilan adalah dimensi
hukum, sedangkan kebaikan adalah dimensi etik. Dalam QS. al-Baqarah: 143,
dijelaskan bahwa Allah menyatakan bahwa kaum muslimin dijadikan ummatan
wasathan.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا
الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً
إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia” (QS. al-Baqarah: 143)
Berikut
adalah tolok ukur moderasi beragama yaitu:
1.
Seberapa kuat kembalinya penganut agama
kembali pada inti pokok ajaran, yaitu nilai kemanusiaan. Melalui kemanusiaan
maka perbedaan agama di tengah masyarakat bukan menjadi persoalan mengganggu
keharmonisan.
2.
Kesepakatan bersama. Melalui kesepakatan
bersama menunjukkan kerja sama di antara sesama manusia yang beragam. Karena
bagaimanapun manusia memiliki keterbatasan sehingga keragaman itu akan saling
menutupi kekurangan. Keragaman diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk membuat
sesama manusia saling menyempurnakan. Keragaman itu adalah kehendak Tuhan
karena manusia yang beragam membutuhkan kesepakatan. Inti pokok ajaran agama
bagaimana setiap kita tunduk dan taat terhadap kesepakatan bersama.
3.
Ketertiban umum. Manusia yang beragam latar
belakang agar bisa tertib yang bisa memicu suasana beragama yang moderat.
Tujuan agama dihadirkan agar tercipta ketertiban umum di tengah kehidupan
bersama yang beragam.
Kesimpulan
Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama.
Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan.
Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama
berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh,
dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat
beragama, serta menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi
bumi yang penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik
dalam umat beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi
kondusif dan maju.